Melirik Pakan Alternatif dari Singkong


Pakan adalah komponen penting dalam usaha budi daya ternak. Pakan berfungsi menjaga kelangsungan hidup serta membuat ternak dapat menghasilkan produk ternak yang berkualitas. Pakan komersil yang saat ini biasa digunakan, sebagian besar merupakan produk impor. Sehingga dari segi jumlah dan harga, keadan ekonomi dunia tentu sangat berpengaruh terhadap fluktuasi harga pakan dalam negeri. Maka dari itu peternak harus bersiap untuk menekan biaya produksi untuk pakannya. Padahal sebanyak 70-80% dari biaya produksi adalah biaya untuk pemberian pakan. Ketergantungan akan pakan komersil ini yang harus dikurangi. Harus diupayakan produk pakan lokal, yang lebih murah, dan selalu tersedia sepanjang musim. Salah satunya adalah dengan melirik potensi ampas dari singkong atau ubi kayu biasa disebut sebagai onggok. Singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta crantz) adalah salah satu sumber pangan karbohidrat yang sudah sangat tak asing bagi penduduk Indonesia.Berdasarkan data, produksi singkong di Indonesia pertahunnya mencapai 20 juta ton singkong, dan masuk ke dalam 5 negara penghasil singkong terbesar di dunia. Singkong ini merupakan bahan baku utama dalam industri tapioka. Dari hasil industri tapioka sendiri dihasilkan sekitar 10-19% limbah hasil produksi berupa onggok. Limbah hasil produksi tapioka ini di beberapa daerah sebagian digunakan sebagai substrat bagi industri asam sitrat. Namun bagaimana dengan sisanya? Biasanya onggok hanya dibuang begitu saja tanpa perlakuan, menjadi potensi limbah bagi lingkungan.
Keberadaan onggok masih kurang dilirik sebagai pakan ternak, selain karena kandungan gizinya yang relatif rendah, yakni kandungan proteinnya yang rendah serta serat kasar yang tinggi sekitar 35%. Banyak upaya untuk meningkatkan mutu onggok salah satunya dengan cara fermentasi atau peragian dengan menggunakan mikroorganisme aspergillus niger. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan aspergillus niger lalu ditambah dengan campuran urea dan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen anorganik. Pembuatannya yakni untuk tiap 10 kg onggok, ditambahkan 584,4 gr campuran mineral anorganik (urea dan zeolit alam), diaduk lalu tambahkan air sebanyak 8 liter, dan setelah itu ditambah 80 gr spora dari aspergillus niger dan aduk rata, lalu campuran tersebut ditempatkan dalam wadah plastik, lalu tunggu fermentasinya selama 4 hari. Oggok-urea-zeolit alam yang difermentasi dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan protein kasar dari 2% menjadi 18% atau meningkat sebanyak 900%. Setelah di fermentasi campuran onggok-urea-zeolit alam kandungan serat kasarnya juga menurun. Zeolit alam yang berasal dari Bayah, Jawa Barat, digunakan sebagai sumber mineral yang murah sekaligus memiliki kemapuan sebagai reservoir untuk amonia yang berasal dari urea dalam proses fermentasi.
Fermentasi onggok -urea-zeolit alam menunjukkan perbaikan mutu setelah mengalami proses fermentasi dengan aspergillus niger. Sangat baik untuk campuran pakan unggas. Pada pengujian lewat ransum ayam kampung petelur,  dengan penambahan sebanyak 10% onggok terfermentasi pada pakan ayam kampung petelur, ternyata hasilnya dapat meningkatkan produksi, dan bobot telur pun mengalami peningkatan. Penggunaan onggok terfermentasi dalam ransum ayam kampung petelur dapat menekan biaya produksi. Caranya yakni dengan mensubstitusikan sebanyak 25% jagung dengan onggok terfermentasi sebanyak 15%. Hal ini sangat menghemat biaya produksi ternak. Onggok yang terfermentasi sebenaranya  memiliki kualitas gizi yang baik. Jadi mengapa tidak mencoba melirik pakan altenatif ini?? Semoga kedepannya onggok terfermentasi bisa menggantikan pakan jagung,  dedak dan polard.

Comments